Bukan Teungku Mafia
(Catatan untuk JU dan MI)
MAKIN menarik saja membaca operan balik Jarjani Usman di Serambi
Indonesia
(8/5) dengan judul “Teungku Latah Sekali”. Menarik dan diluar dugaan banyak
elemen masyarakat, Jarjani Usman (JU) mengarahkan perdebatan bagus ini ke ruang
personalitas lawan diskusinya. Padahal Mukhlisuddin Ilyas (MI) diakhir
tulisannya, “Teungku Latah”, (6/5/2010) mengajak JU dan masyarakat untuk
membuka diskursus pengembangan dayah dan teungkunya secara terang
benderang.
Lazimnya tulisan JU begitu santun dan menyejukkan. Tausiyahnya melalui Tafakkur
sangat religius dengan bahasa yang cukup damai di ruang Serambi Indonesia, beda
180 derajat dengan ajakan diskursus MI tentang teungku dan dayah di Aceh. Untuk
itu, kita menunggu kedewasaan MI untuk tidak perlu menanggapi tulisan JU lagi.
Membangun Aceh kedepan, saatnya anak muda seperti MI ini yang perlu menunjukkan
kedewasaan bagi orang tua seperti JU, jangan lagi mengedepankan emosi. MI harus
berkorban untuk tidak menanggapi lagi walau JU telah menyerangnya ke arah
personalitas yang membabi-buta dengan delapan poin itu. Tapi mari kita diskusi
ke arah subtantif untuk kemajuan teungku dan pendidikan dayah kedepan seperti
ajakan MI.
Seperti pengakuan JU, dalam tulisannya yang pertama berjudul “Kisah Teungku
Mafia” memang sangat sederhana. Demikian sederhananya, tulisan itu hanya
terdiri dari dua bagian, bagian pertama tentang kisah teungku yang disebut
mafia, dan bagian ke dua berisi 3 (tiga) saran JU untuk Badan Pendidikan dan
pembinaan Dayah (BPPD) Aceh. Jika tidak jeli dilihat, tulisan sederhana itu
terkesan aneh, bagaimana mungkin 3 (tiga) saran serius JU untuk BPPD hanya
berbasis pada satu kasus penyimpangan yang dilakukan oleh satu teungku yang
diklaim sebagai mafia.
Padahal jika sedikit teliti, pembaca segera menemukan JU tidak berhenti pada
satu kasus itu, karena ia tahu satu kasus tidak cukup menjadi dasar baginya
untuk mengajukan 3 saran serius kepada BPPD. Maka ia pun mulai mengembangkan
dugaan bahwa kasus teungku mafianya mungkin cukup banyak, atau dalam tulisan
pertama Jarjani pada paragraf sembilan kalimat pertama, “Begitulah kisah
teungku yang menggunakan topeng agama untuk memperoleh harta kekayaan, yang
mungkin bukan satu di daerah yang menganut syariat Islam ini”.
Dugaan banyaknya (jamak/lebih dari satu) kasus teungku mafia adalah penghubung
antara bagian pertama dan bagian ke dua dari tulisannya yang sangat sederhana
itu. Dugaan inilah yang tidak ia sadari telah berusaha membentuk citra buruk
bagi teungku-teungku, tanpa perlu menyatakan secara tekstual banyak teungku
dayah melakukan penyimpangan dalam mengupayakan bantuan Pemerintah
Irwandi-Nazar. Karenanya meskipun JU secara teks ekspilisit tidak
menggeneralisasi kasus teungku mafia versinya, tetapi konteks tulisannya
mengarah satu langkah mendekati itu. Maka cara penafsiran tulisan JU oleh MI adalah
satu kepatutan berdasarkan kaidah konteks kalimat dan logika bahasa.
Dalam hal ini, JU perlu mengetahui bahwa pemahaman atas sebuah tulisan tidak
selamanya berhubungan dengan teks dan struktur bahasa, sebuah tulisan juga
dipahami dari konteks dan logika bahasa. Hal ini telah dikenal luas di kalangan
pakar hermeunitik dan juga di kalangan para pakar Ushul Fiqh Islam sendiri.
Dari sisi logika bahasa, saya memahami tulisan JU pertamanya yang terdiri dari
dua bagian sederhana itu selain memberi citra baru (mafia) untuk sebagian
kalangan teungku, juga hendak mengesankan banyak teungku dayah layak dicurigai,
terutama usulan-usulan dana bantuan dari mereka kepada Pemerintah. Tentu saya
tidak sendirian, banyak orang menangkap pesan itu dari JU.
Jika JU bermaksud benar-benar ingin mengungkapkan sebuah kemungkaran dalam
masyarakat, seharusnya tidak perlu latah melekatkan citra mafia sebagai
predikat dari kata teungku. JU bisa memulainya dengan predikat “Kisah Dosen
Mafia”, pasti JU akan dianggap tidak beretika pula, melebihi kata congkak yang
dialamatkan MI kepadanya.
Meskipun didapati ada dosen yang lebih buruk perilakunya dalam hal mengumpulkan
harta dengan cara tidak sah dibandingkan perilaku seorang teungku dari kampung
JU (mungkin) yang ia tuduh mafia itu. Tampaknya JU merasa tidak perlu
memperhatikan etika jika sedang melawan kemungkaran. Padahal keyakinan demikian
sangat wahabisme, sebuah ajaran yang ditentang kuat oleh komunitas dayah
tradisional di Aceh. Konteks lain, sejarah hubungan dayah dan IAIN Ar-Raniry
yang kurang harmonis merupakan sisi lain yang diabaikan oleh JU ketika ia
mengatasnamakan diri sebagai dosen IAIN Ar-Raniry berusaha mengupayakan
pencitraan buruk terhadap teungku-teungku dayah.
Dari pembicaraan saya dengan beberapa komunitas dayah di Aceh, saya temukan
bahwa dayah memiliki resistensi terhadap IAIN Ar-Raniry sejak awal pendiriannya
setelah mengetahui sarjana kampus ini sekian lama menuduh orang dayah hanya
tahu kullataini (air dua kuliah dalam bahasan bab wudhu’). Hal ini telah digunakan
sebagai joke sehari-hari di dayah tertentu untuk membangun sentimen resistensi
terhadap IAIN Ar-Raniry. Sebenarnya, baru dalam satu dasawarsa terakhir,
hubungan dayah dan IAIN Ar-Raniry lebih mencair. Sayangnya, JU tidak mengetahui
realitas ini kembali memperburuk keadaan dari upayanya memberikan citra mafia
pada kata teungku.
Tampaknya JU juga tidak begitu memahami posisi term teungku dalam kebudayaan
masyarakat Aceh, sehingga dengan mudah memerediksi mafia pada teungku. Baginya
teungku hanya sebatas gelar khas Aceh yang tidak dimiliki masyarakat Melayu,
Minang, dan masyarakat lainnya. Dangkal sekali pemikiran JU bukan? Padahal
kalau saja JU sedikit lebih rajin membaca dan mencari tahu posisi term teungku
dalam kebudayaan Aceh, segera kepadanya dipahamkan bahwa teungku itu adalah
gelar kesarjanaan bagi alumni dayah setara strata satu tempoe doeloe. Aceh
memiliki tiga gelar keserjanaan, yaitu teungku (setara s1), teungku chiek
(setara s2), dan syaikh (setara s3).
Gelar keilmuan ini digunakan berabad-abad hingga datangnya kolonial Belanda
mengubahnya dengan gelar-gelar kebelandaan, seperti Drs, Ir, dan lainnya. Maka
jika kata mafia dilekatkan pada kata teungku itu sama halnya JU dianggap tidak
beretika saat menulis dengan judul “SAg Mafia”, “M.Ag Mafia”, atau malah
“Doktor Mafia”. Padahal jika hanya ada seorang warga gampong JU (atau warga
gampong lain yang dilaporkan ke JU) menjual proposal fiktif kepada BPPD,
mengapa pula gelar kesarjanaan teungku dianggap pantas untuk dikorbankan?
Bukankah lebih tepat menulisnya “Warga Mafia Proposal”. Apalagi memang orang
yang dituduh mafia oleh JU memang bukan teungku. Makin jelas bahwa tuduhan
mencari sensasi kepada MI sepantasnya diberikan secara permanen kepada JU dan
institusinya.
Jadi telaahan beberapa aspek di atas membuat saya dapat memahami kesimpulan MI
bahwa JU memang begitu super latah sekali yang karena kelatahannya ia tanpa
sadar merusak citra (hubungan) teungku dan institusi IAIN Ar-Raniry.
* Penulis adalah pemerhati pendidikan dayah.