Kebebasan Beragama Dapat Dibatasi. Sejauh Manakah?
Oleh:
Yasser Arafat, SH
Pada tulisan sebelumnya, penulis mengulas
tentang jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi Negara Republik
Indonesia (RI). Namun kemudian muncul pertanyaan, sejauh manakah jaminan
kebebasan beragama yang ditegaskan dalam UUD RI?
Kebebasan Beragama merupakan salah satu hal yang mendasar dalam Hak Asasi Manusia. Berbicara soal Hak Asasi Manusia, negara RI sebagai negara hukum di dalam konstitusinya telah menjamin pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Namun, Hak Asasi Manusia yang merupakan jaminan konstitusi (constitutional guarantee)
di Indonesia itu tidak berarti negara memberikan kebebasan yang
sebebas-bebasnya. Melainkan dimungkinkan bagi negara untuk melakukan
pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beragama, sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang.
Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945 yang berbunyi: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dalam konsepsi Hak Asasi Manusia yang diterapkan di Indonesia, dikenal pembagian hak yang tidak dapat dibatasi atau ditangguhkan (non derogable right) yang merupakan wujud dari inner freedom atau freedom to be. Selain itu, ada juga hak yang dapat dibatasi (derogable right) sebagai wujud dari freedom to act.
Jika dikontekskan dengan kebebasan beragama, maka hak yang bersifat freedom to be adalah
hak untuk memeluk suatu agama, hak untuk meyakini kebenaran dari suatu
agama, hak untuk menafsirkan suatu teks agama dan lain sebagainya.
Adapun hak yang bersifat freedom to act adalah hak untuk mengekspresikan atau menyebarkan ajaran agama atau keyakinan masing-masing.
Dari konsepsi itulah negara menjalankan tugasnya untuk membatasi Hak Asasi Manusia, khususnya Kebebasan Beragama. Hanya Hak Asasi Manusia yang bersifat freedom to act saja yang dapat dibatasi oleh negara.
Salah satu contoh terkini pembatasan yang
dilakukan oleh negara terkait kebebasan beragama misalnya pelarangan
Ahmadiyah di Indonesia. SKB 3 Menteri yang melarang aktivitas Ahmadiyah
di Indonesia ini dianggap sebagai pembatasan yang dilakukan negara dalam
kerangka membatasi hak yang tergolong freedom to act.
Bagi penulis, kebijakan itu benar dalam
konteks membatasi suatu hak yang memang dapat dibatasi. Namun kebijakan
itu menjadi salah lantaran alasan yang melandasi dikeluarkannya
kebijakan tersebut.
Pada SKB 3 Menteri tersebut, dijelaskan
bahwa landasan dibuatnya kebijakan tersebut yakni Undang-Undang Nomor
1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama,
khususnya Pasal 1: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pada pasal tersebut ada beberapa unsur
yang layak mendapatkan sorotan. Kalimat “agama yang dianut di
Indonesia”, misalnya, yang memiliki maksud agama-agama tersebut di
antaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu
(Confusius).
Pada penjelasannya, tertulis alasan yang
didasarkan pada sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Keenam
macam agama dianggap sebagai agama-agama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia.
Pertanyaan kritis penulis, apakah yang
dijadikan pertimbangan bagi perumus atas diakuinya agama tertentu itu
berdasarkan besar atau banyaknya jumlah penganut suatu agama? Lalu apa
ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk suatu agama untuk kemudian
dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya secara yuridis oleh
negara?
Maka jawaban dari kedua pertanyaan
tersebut bahwa tidak ada pertimbangan dan ukuran yang jelas lagi logis.
Alasan-alasan yang diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki
ukuran jelas.
Selain itu, kalimat lain yang patut
disoroti ialah kalimat “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.
Maksudnya yakni menyimpang dari ajaran agama dimana dapat diketahui oleh
Departemen Agama dan Ulama-Ulama dari agama yang bersangkutan yang
untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya.
Menurut penulis, Departemen Agama maupun
ulama-ulama bukanlah otoritas yang relevan untuk menilai agama dan
keyakinan mana yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama. Hal
ini lantaran pada hakikatnya pemahaman mereka saat melakukan penilaian
pun berdasarkan atas penafsiran mereka terhadap teks-teks suci agama.
Jadi antara Departemen Agama maupun pihak atau kelompok yang akan
dihakiminya itu berada pada posisi yang sama, sebagai penafsir ajaran
agama.
Jadi, menurut penulis, Pasal 1 UU Nomor
1/PNPS/Tahun 1965 yang dijadikan landasan dibuatnya SKB 3 Menteri
mengandung kecacatan logika. Ketika negara menganggap bahwa pemahaman
Departemen Agama dan ulama-ulama terhadap suatu agama itu merupakan
tolak ukur untuk menilai suatu agama menyimpang atau tidak, sebetulnya
negara melakukan paksaan terhadap penafsiran suatu agama dan
memposisikan sebagai penafsiran tunggal akan agama.
Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan
bahwa Departemen Agama dan ulama-ulama telah menjadi Tuhan bagi para
pemeluk agama di Indonesia, karena merekalah yang diberikan otoritas
oleh negara untuk menjadi penafsir terhadap pokok-pokok ajaran agama
yang dianut di Indonesia.
Penulis tidak sepakat dengan bunyi pasal 1
UU tersebut. Namun di sisi lain, penulis sepakat dengan Pasal 4 UU
tersebut dijadikan landasan pembatasan kebebasan beragama.
Pasal 4
“Pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a.
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) dengan
maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ketuhanan Yang Maha Esa.“[]
#IHRBA
Sumber Gambar: