Rabu, 17 Oktober 2012

Kebebasan Beragama Dapat Dibatasi. Sejauh Manakah?

Kebebasan Beragama Dapat Dibatasi. Sejauh Manakah?

Kekerasan SARA, Penodaan Agama, berpotensi merobek-robek prinsip bhineka tunggal ika.
Oleh:
Yasser Arafat, SH
Pada tulisan sebelumnya, penulis mengulas tentang jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi Negara Republik Indonesia (RI). Namun kemudian muncul pertanyaan, sejauh manakah jaminan kebebasan beragama yang ditegaskan dalam UUD RI?
Kebebasan Beragama merupakan salah satu hal yang mendasar dalam Hak Asasi Manusia. Berbicara soal Hak Asasi Manusia, negara RI sebagai negara hukum di dalam konstitusinya telah menjamin pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Namun, Hak Asasi Manusia yang merupakan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) di Indonesia itu tidak berarti negara memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Melainkan dimungkinkan bagi negara untuk melakukan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beragama, sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang.
Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945 yang berbunyi: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”   
Dalam konsepsi Hak Asasi Manusia yang diterapkan di Indonesia, dikenal pembagian hak yang tidak dapat dibatasi atau ditangguhkan (non derogable right) yang merupakan wujud dari inner freedom atau freedom to be. Selain itu, ada juga hak yang dapat dibatasi (derogable right) sebagai wujud dari freedom to act.
Jika dikontekskan dengan kebebasan beragama, maka hak yang bersifat freedom to be  adalah hak untuk memeluk suatu agama, hak untuk meyakini kebenaran dari suatu agama, hak untuk menafsirkan suatu teks agama dan lain sebagainya. Adapun hak yang bersifat freedom to act adalah hak untuk mengekspresikan atau menyebarkan ajaran agama atau keyakinan masing-masing.
Dari konsepsi itulah negara menjalankan tugasnya untuk membatasi Hak Asasi Manusia, khususnya Kebebasan Beragama. Hanya Hak Asasi Manusia yang bersifat freedom to act saja yang dapat dibatasi oleh negara.
Salah satu contoh terkini pembatasan yang dilakukan oleh negara terkait kebebasan beragama misalnya pelarangan Ahmadiyah di Indonesia. SKB 3 Menteri yang melarang aktivitas Ahmadiyah di Indonesia ini dianggap sebagai pembatasan yang dilakukan negara dalam kerangka membatasi hak yang tergolong freedom to act.
Bagi penulis, kebijakan itu benar dalam konteks membatasi suatu hak yang memang dapat dibatasi. Namun kebijakan itu menjadi salah lantaran alasan yang melandasi dikeluarkannya kebijakan tersebut.
Pada SKB 3 Menteri tersebut, dijelaskan bahwa landasan dibuatnya kebijakan tersebut yakni Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, khususnya Pasal 1: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pada pasal tersebut ada beberapa unsur yang layak mendapatkan sorotan. Kalimat “agama yang dianut di Indonesia”, misalnya, yang memiliki maksud agama-agama tersebut di antaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Pada penjelasannya, tertulis alasan yang didasarkan pada sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Keenam macam agama dianggap sebagai agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.
Pertanyaan kritis penulis, apakah yang dijadikan pertimbangan bagi perumus atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya jumlah penganut suatu agama? Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk suatu agama untuk kemudian dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya secara yuridis oleh negara?
Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada pertimbangan dan ukuran yang jelas lagi logis. Alasan-alasan yang diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki ukuran jelas.
Selain itu, kalimat lain yang patut disoroti ialah kalimat “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”. Maksudnya yakni menyimpang dari ajaran agama dimana dapat diketahui oleh Departemen Agama dan Ulama-Ulama dari agama yang bersangkutan yang untuk itu mempunyai alat-alat atau cara-cara untuk menyelidikinya.
Menurut penulis, Departemen Agama maupun ulama-ulama bukanlah otoritas yang relevan untuk menilai agama dan keyakinan mana yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama. Hal ini lantaran pada hakikatnya pemahaman mereka saat melakukan penilaian pun berdasarkan atas penafsiran mereka terhadap teks-teks suci agama. Jadi antara Departemen Agama maupun pihak atau kelompok yang akan dihakiminya itu berada pada posisi yang sama, sebagai penafsir ajaran agama.
Jadi, menurut penulis, Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 yang dijadikan landasan dibuatnya SKB 3 Menteri mengandung kecacatan logika. Ketika negara menganggap bahwa pemahaman Departemen Agama dan ulama-ulama terhadap suatu agama itu merupakan tolak ukur untuk menilai suatu agama menyimpang atau tidak, sebetulnya negara melakukan paksaan terhadap penafsiran suatu agama dan memposisikan sebagai penafsiran tunggal akan agama.
Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa Departemen Agama dan ulama-ulama telah menjadi Tuhan bagi para pemeluk agama di Indonesia, karena merekalah yang diberikan otoritas oleh negara untuk menjadi penafsir terhadap pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia.
Penulis tidak sepakat dengan bunyi pasal 1 UU tersebut. Namun di sisi lain, penulis sepakat dengan Pasal 4 UU tersebut dijadikan landasan pembatasan kebebasan beragama.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan Yang Maha Esa.“[]
#IHRBA
Sumber Gambar:

Senin, 24 September 2012


4 Kesalahan Dalam Wawancara Kerja

Wawancara kerja merupakan tahapan yang paling penting dalam mencari pekerjaan. Satu kesalahan fatal saja bisa membuat Anda batal mendapatkan pekerjaan impian. Ini beberapa kesalahan yang harus dihindari.

1. Panik dan memberikan jawaban terbata-bata

Inilah alasan Anda harus melakukan persiapan yang matang sebelum wawancara kerja. Jika perlu lakukan simulasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan keluar dalam wawancara, sehingga Anda tak grogi. Satu hal lagi kiat untuk menghindari kepanikan dan jawaban terbata-bata adalah kejujuran. Jika yang Anda ungkapkan adalah sebuah kejujuran, pasti akan mudah mengutarakannya. Jangan sampai Anda dianggap tidak menguasai topik karena kegugupan Anda.

2. Hindari topik sensitif

Sering kali pihak pewawancara melakukan obrolan santai untuk membuat suasana tak terlalu kaku. Untuk hal ini, lebih baik hindari topik-topik yang sensitif seperti politik, dan SARA. Bisa jadi pihak yang Anda sudutkan dalam topik obrolan tersebut memiliki hubungan dekat dengan si pewawancara — sehingga berpengaruh terhadap penilaiannya. Lebih baik pilih topik yang ringan juga netral.

3. Hindari bergosip


Hobi bergosip bisa menjadi alasan Anda ditolak dari pekerjaan impian. Jadi jangan pernah mengajak orang yang mewawancara Anda untuk bergosip.

4. Sok tahu

Jika di saat wawancara saja Anda sudah dinilai sok tahu dan tidak mau mendengarkan orang lain, jangan berharap Anda bisa diterima kerja. Perusahaan umumnya menginginkan orang-orang yang bisa bekerja dalam sebuah tim. Bukan orang sok pintar yang individualis. Jadi jangan pernah bersikap sok tahu.

Semoga sukses!

Minggu, 02 September 2012

Pesan di Shubuh Jelita

Pesan di Subuh Jelita

Terdapat pesan pada Shubuh nan jelita…
di mana mulanya pagi adalah..
dingin yang mulai menyusup dalam rahang jiwa
namun tak gentar diri dalam lamun alang angkasa…
Ingin kusampaikan yang tak teraba oleh mata namun nyata…
hanya hatiku bimbang untuk memulainya..
bisakah kau aturkan masa?
untuk aku bisa memulainya barang sekata…

Embunku tak lagi terjaga…
ia berteman dengan Shubuh yang akan berjelaga
begitu pula denganku,…
hanya aku tak dapat mulai
barang sekata….

Dan esok tetap akan jadi gubahan makna
bahwa hari ini ingin kuungkap cinta….

di mana aku akan diam dan hanya berdiam
berdialog dengan masa meski tak bersuara…

dan Shubuhku berpesan…
cintailah yang berhak dicinta
sayangilah yang berhak dan pantas disayangi…
namun embunku menentukan pilihannya…
pada yang bernama mentari meski akhirnya ia sirna karenanya..

cinta embun dan mentari yang tak bersua namun indah dirasa…

Ku Panggil Namamu







Kupanggil Namamu

Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengarku?

Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia
Tak ada yang bisa kujangkau
Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.

Berulang kali kupanggil namamu
Di manakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggil namamu.
Kupanggil namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan ?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan hal yang besar saja.

Seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak
Aku tak bisa kembali.

Sambil terus memanggil namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
Penuh. Dan Prawan.

Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.

Puisi

PETUALANGAN SADIS

Hampir tiga tahun kau meninggalkanku
Hari-hariku semakin tak menentu
Harusnya aku tetap di situ
Menunggu kau menjemputku
Tak sabar hati ini
Ingin terus berkreasi
Tapi akhirnya salah arti
Aku terperangkap hampir mati
Petualangan ini makin kritis
Kuterjebak cinta sadis
Terpikir dia seorang gadis
Ku salah terlalu optimis
Ku berharap keramahan cinta
Tapi dia tak pernah ada
Bagiku dan buat si dia
Itu hanya cerita belaka
Ku akhiri petualangan ini
Dengan satu kata penuh arti
Ku tak ingin terulang lagi
Cerita cinta yang tak pasti
Selamat tinggal sayang…
Selamat tinggal cinta…
Selamat tinggal kenangan…
Selamat tinggal petualangan…
Ku akan kembali
Pada masa indah yang dulu ku nanti
Hanya wanita suci
Di masih terus menanti…

Oleh: Arrur
Buat seorang kenangan dan harapan..
Terinspirasi dari petualangan cerita cinta masa remaja..

Opini

Bukan Teungku Mafia

(Catatan untuk JU dan MI)

MAKIN menarik saja membaca operan balik Jarjani Usman di Serambi Indonesia (8/5) dengan judul “Teungku Latah Sekali”. Menarik dan diluar dugaan banyak elemen masyarakat, Jarjani Usman (JU) mengarahkan perdebatan bagus ini ke ruang personalitas lawan diskusinya. Padahal Mukhlisuddin Ilyas (MI) diakhir tulisannya, “Teungku Latah”, (6/5/2010) mengajak JU dan masyarakat untuk membuka diskursus pengembangan dayah dan teungkunya secara terang benderang.

Lazimnya tulisan JU begitu santun dan menyejukkan. Tausiyahnya melalui Tafakkur sangat religius dengan bahasa yang cukup damai di ruang Serambi Indonesia, beda 180 derajat dengan ajakan diskursus MI tentang teungku dan dayah di Aceh. Untuk itu, kita menunggu kedewasaan MI untuk tidak perlu menanggapi tulisan JU lagi. Membangun Aceh kedepan, saatnya anak muda seperti MI ini yang perlu menunjukkan kedewasaan bagi orang tua seperti JU, jangan lagi mengedepankan emosi. MI harus berkorban untuk tidak menanggapi lagi walau JU telah menyerangnya ke arah personalitas yang membabi-buta dengan delapan poin itu. Tapi mari kita diskusi ke arah subtantif untuk kemajuan teungku dan pendidikan dayah kedepan seperti ajakan MI.

Seperti pengakuan JU, dalam tulisannya yang pertama berjudul “Kisah Teungku Mafia” memang sangat sederhana. Demikian sederhananya, tulisan itu hanya terdiri dari dua bagian, bagian pertama tentang kisah teungku yang disebut mafia, dan bagian ke dua berisi 3 (tiga) saran JU untuk Badan Pendidikan dan pembinaan Dayah (BPPD) Aceh. Jika tidak jeli dilihat, tulisan sederhana itu terkesan aneh, bagaimana mungkin 3 (tiga) saran serius JU untuk BPPD hanya berbasis pada satu kasus penyimpangan yang dilakukan oleh satu teungku yang diklaim sebagai mafia.

Padahal jika sedikit teliti, pembaca segera menemukan JU tidak berhenti pada satu kasus itu, karena ia tahu satu kasus tidak cukup menjadi dasar baginya untuk mengajukan 3 saran serius kepada BPPD. Maka ia pun mulai mengembangkan dugaan bahwa kasus teungku mafianya mungkin cukup banyak, atau dalam tulisan pertama Jarjani pada paragraf sembilan kalimat pertama, “Begitulah kisah teungku yang menggunakan topeng agama untuk memperoleh harta kekayaan, yang mungkin bukan satu di daerah yang menganut syariat Islam ini”.

Dugaan banyaknya (jamak/lebih dari satu) kasus teungku mafia adalah penghubung antara bagian pertama dan bagian ke dua dari tulisannya yang sangat sederhana itu. Dugaan inilah yang tidak ia sadari telah berusaha membentuk citra buruk bagi teungku-teungku, tanpa perlu menyatakan secara tekstual banyak teungku dayah melakukan penyimpangan dalam mengupayakan bantuan Pemerintah Irwandi-Nazar. Karenanya meskipun JU secara teks ekspilisit tidak menggeneralisasi kasus teungku mafia versinya, tetapi konteks tulisannya mengarah satu langkah mendekati itu. Maka cara penafsiran tulisan JU oleh MI adalah satu kepatutan berdasarkan kaidah konteks kalimat dan logika bahasa.

Dalam hal ini, JU perlu mengetahui bahwa pemahaman atas sebuah tulisan tidak selamanya berhubungan dengan teks dan struktur bahasa, sebuah tulisan juga dipahami dari konteks dan logika bahasa. Hal ini telah dikenal luas di kalangan pakar hermeunitik dan juga di kalangan para pakar Ushul Fiqh Islam sendiri. Dari sisi logika bahasa, saya memahami tulisan JU pertamanya yang terdiri dari dua bagian sederhana itu selain memberi citra baru (mafia) untuk sebagian kalangan teungku, juga hendak mengesankan banyak teungku dayah layak dicurigai, terutama usulan-usulan dana bantuan dari mereka kepada Pemerintah. Tentu saya tidak sendirian, banyak orang menangkap pesan itu dari JU.

Jika JU bermaksud benar-benar ingin mengungkapkan sebuah kemungkaran dalam masyarakat, seharusnya tidak perlu latah melekatkan citra mafia sebagai predikat dari kata teungku. JU bisa memulainya dengan predikat “Kisah Dosen Mafia”, pasti JU akan dianggap tidak beretika pula, melebihi kata congkak yang dialamatkan MI kepadanya.

Meskipun didapati ada dosen yang lebih buruk perilakunya dalam hal mengumpulkan harta dengan cara tidak sah dibandingkan perilaku seorang teungku dari kampung JU (mungkin) yang ia tuduh mafia itu. Tampaknya JU merasa tidak perlu memperhatikan etika jika sedang melawan kemungkaran. Padahal keyakinan demikian sangat wahabisme, sebuah ajaran yang ditentang kuat oleh komunitas dayah tradisional di Aceh. Konteks lain, sejarah hubungan dayah dan IAIN Ar-Raniry yang kurang harmonis merupakan sisi lain yang diabaikan oleh JU ketika ia mengatasnamakan diri sebagai dosen IAIN Ar-Raniry berusaha mengupayakan pencitraan buruk terhadap teungku-teungku dayah.

Dari pembicaraan saya dengan beberapa komunitas dayah di Aceh, saya temukan bahwa dayah memiliki resistensi terhadap IAIN Ar-Raniry sejak awal pendiriannya setelah mengetahui sarjana kampus ini sekian lama menuduh orang dayah hanya tahu kullataini (air dua kuliah dalam bahasan bab wudhu’). Hal ini telah digunakan sebagai joke sehari-hari di dayah tertentu untuk membangun sentimen resistensi terhadap IAIN Ar-Raniry. Sebenarnya, baru dalam satu dasawarsa terakhir, hubungan dayah dan IAIN Ar-Raniry lebih mencair. Sayangnya, JU tidak mengetahui realitas ini kembali memperburuk keadaan dari upayanya memberikan citra mafia pada kata teungku.

Tampaknya JU juga tidak begitu memahami posisi term teungku dalam kebudayaan masyarakat Aceh, sehingga dengan mudah memerediksi mafia pada teungku. Baginya teungku hanya sebatas gelar khas Aceh yang tidak dimiliki masyarakat Melayu, Minang, dan masyarakat lainnya. Dangkal sekali pemikiran JU bukan? Padahal kalau saja JU sedikit lebih rajin membaca dan mencari tahu posisi term teungku dalam kebudayaan Aceh, segera kepadanya dipahamkan bahwa teungku itu adalah gelar kesarjanaan bagi alumni dayah setara strata satu tempoe doeloe. Aceh memiliki tiga gelar keserjanaan, yaitu teungku (setara s1), teungku chiek (setara s2), dan syaikh (setara s3).

Gelar keilmuan ini digunakan berabad-abad hingga datangnya kolonial Belanda mengubahnya dengan gelar-gelar kebelandaan, seperti Drs, Ir, dan lainnya. Maka jika kata mafia dilekatkan pada kata teungku itu sama halnya JU dianggap tidak beretika saat menulis dengan judul “SAg Mafia”, “M.Ag Mafia”, atau malah “Doktor Mafia”. Padahal jika hanya ada seorang warga gampong JU (atau warga gampong lain yang dilaporkan ke JU) menjual proposal fiktif kepada BPPD, mengapa pula gelar kesarjanaan teungku dianggap pantas untuk dikorbankan? Bukankah lebih tepat menulisnya “Warga Mafia Proposal”. Apalagi memang orang yang dituduh mafia oleh JU memang bukan teungku. Makin jelas bahwa tuduhan mencari sensasi kepada MI sepantasnya diberikan secara permanen kepada JU dan institusinya.

Jadi telaahan beberapa aspek di atas membuat saya dapat memahami kesimpulan MI bahwa JU memang begitu super latah sekali yang karena kelatahannya ia tanpa sadar merusak citra (hubungan) teungku dan institusi IAIN Ar-Raniry.

* Penulis adalah pemerhati pendidikan dayah.